Ketahui Adab Hutang dalam Islam Berikut Ini agar Makin Berkah

Ketentuan hutang dalam Islam (Foto:123rf.com)
Ketentuan hutang dalam Islam (Foto:123rf.com)

Saat kondisi keuangan terdesak, seseorang mungkin mencari bantuan pinjaman uang. Sebagai Muslim, kamu dianjurkan memberikan pinjaman bagi mereka yang memiliki kebutuhan mendesak. Tapi kedua belah pihak diharapkan sudah mengerti mengenai adab utang dalam Islam.

Hukum utang piutang dalam Islam adalah boleh (mubah). Pemberian pinjaman kepada seseorang bisa menjadi sunnah karena dengan memberi pinjaman, dia telah membantu orang yang meminta pinjaman.

Dalam Bahasa Arab, piutang disebut dengan Qardh atau memotong. Menurut kaidah Islam, Qardh artinya memotong harta dan memberikannya kepada siapapun yang membutuhkan untuk nanti dikembalikan lagi kepada yang memberikannya.

Alasannya pemberian utang diperbolehkan karena dapat menolong kondisi seseorang dari kesulitan. Bagaimana pun, biasanya orang yang membutuhkan pinjaman adalah orang yang sedang kesulitan.

Meskipun utang piutang adalah muamalah yang diperbolehkan, penerapannya harus dilakukan dengan hati-hati. Utang piutang dapat mengantarkan seseorang ke surga atau malah membuat terjerumus ke neraka. Jadi, bagaimana hukum utang dalam Islam? Apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak boleh? Simak terus ya tulisan ini.

Hukum Memberikan Utang dalam Islam

Hukum memberikan utang dalam Islam
Hukum memberikan utang dalam Islam

Dalam Islam, pemberian utang atau piutang hukumnya sunnah. Jadi, ada janji pahala jika memberikan utang. Salah satu syarat pemberian piutang ini adalah tidak mengandung unsur haram yaitu riba. Jadi, umat Islam tidak boleh membebankan riba atas utang yang diberikannya.  

Meski pada awalnya utang piutang dimulai dengan niat baik, kerap terjadi permasalahan di masa mendatang. Karena itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi saat membuat utang piutang agar tidak ada masalah di masa mendatang:

1. Membuat perjanjian tertulis

Perjanjian tertulis harus dibuat dalam utang piutang, untuk yang jumlahnya besar maupun kecil. Perjanjian tertulis mengikat para pihak untuk melakukan kewajibannya.

Kewajiban mencatat utang piutang ini tertulis dalam Surat Al Baqarah ayat 282. Berikut tafsir ringkasnya menurut Kementerian Agama RI. “Wahai orang-orang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu pembayaran yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya untuk melindungi hak masing-masing dan untuk menghindari perselisihan”.

“Orang yang mendiktekan surat perjanjian utang piutang adalah orang yang berutang. Jika orang yang berutang ini lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit atau sangat tua, atau tidak mampu mendiktekan sendiri karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar dan jujur”.

Nah, kepada penulis, diingatkan agar menuliskan dengan benar. Jangan mengurangi sehingga tidak ada kerugian di masa mendatang. Dalam perjanjian tersebut juga harus dicantumkan besaran dan batas waktu pemberian utang yang baik.

2. Disertai dengan saksi

Selain ditulis dengan benar, pembuatan perjanjian utang ini pun seharusnya disaksikan oleh orang lain. Tujuannya, jika ada permasalahan utang piutang di masa mendatang, perjanjian tertulis dan saksi dapat membantu penegakkan persaksian dan menghilangkan keraguan mengenai jenis utang, besaran, dan waktunya.

Saksi dalam perjanjian utang ini bisa dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Tujuan dari saksi ini adalah untuk mengingatkan jika ada yang seorang yang lupa. Selain itu, Surat Al Baqarah menuliskan agar para saksi tidak menolak jika dipanggil jika ada permasalahan utang piutang di masa mendatang. Karena penolakan tersebut dapat merugikan salah satu pihak yang melakukan utang piutang.  

Hukum Menagih Utang dalam Islam

hukum menagih utang dalam Islam
hukum menagih utang dalam Islam

Islam juga telah mengatur mengenai penagihan piutang. Penagihan piutang boleh dilakukan, tetapi dengan adab. Tidak dibenarkan jika penagihan dilakukan dengan segala macam praktik yang memberatkan pihak yang berutang dan menguntungkan pihak yang memberi utang.

Mengutip Kementerian Agama RI, dalam menagih utang kepada orang lain, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan.

Pertama, menagih utang saat sudah jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan. Dalam kitab Al Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al Kuwaitiyah dijelaskan Ahmad bin Hanbal berkata, selayaknya pemberi pinjaman menepati janjinya.

Kedua, menagih utang dengan cara yang baik. “Siapa yang menuntut haknya, sebaiknya menuntut dengan baik, baik pada orang yang ingin menunaikannnya atau pada orang yang tidak menunaikannya”. (HR. Ibnu Majah)

Ketiga, jika yang berutang belum mampu membayar, dianjurkan menunggu sampai mampu atau mebebaskan utangnya. “Siapa yang senang diselamatkan Allah dari kesusahan hari kiamat, maka sebaiknya menghilangkan kesusahan orang yang terilit utang atau membebaskannya”. (HR. Muslim)

Keempat, tidak boleh mengambil keuntungan dari utang seperti bunga. “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkan riba, jika kalian orang beriman. “QS. Al-Baqarah ayat 278.

Hukum Menerima Utang dalam Islam

Karena utang diberikan dengan niat baik, maka orang yang meminjam tidak boleh meremehkan uang pinjaman yang diberikan. Dia juga harus mengupayakan mengembalikannya dengan niat yang kuat.

Untuk utang piutang yang harus diperhatikan oleh penerima utang, ada 11 adab.

1. Jangan lupa mencatat utang piutang

Seperti sudah dibahas di atas, pihak pengutang pun wajib terlibat dalam penulisan perjanjian utang piutang.

“Wahai orang-orang beriman, apabila kalian melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya)”. (QS Al-Baqarah ayat 282).

2. Jangan pernah berniat tidak membayar utang

“Siapa saja yang berutang, sedang ia berniat tidak melunasi utangnya, maka ia akan bertemu Allah sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah).

3. Memiliki rasa takut jika tidak bayar utang

Dalam Islam, utang yang tidak dibayarkan dapat menjadi pengganjal jalan ke Surga.

“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni, kecuali utang”. (HR. Muslim)

4. Jangan merasa tenang saat masih punya utang.

“Barang siapa mati dan masih berutang satu dinar atau dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan diambil amal kebaikannya, karena di sana (akhirat) tidak ada dinar dan dirham”. (HR Ibnu Majah)

5. Jangan menunda-nunda membayar atau melunasi

Dalam Islam, pengutang juga tidak boleh menunda-nunda untuk melunasinya. Orang yang tidak membayar utangnya padahal mampu, dia mendapatkan dosa.  

“Menunda-nunda (bayar utang) bagi orang yang mampu (bayar) adalah kezaliman”. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi).

6. Jangan menunggu ditagih dulu barulah membayar utang

Jika kamu sudah mampu membayar utang, maka lunasi sebelum ditagih.

“Sebaik-baiknya orang adalah yang paling baik dalam pembayaran utang”. (HR. Bukhari)

7. Jangan mempersulit dan banyak alasan dalam pembayaran utang

Ketika meminta pinjaman uang, pastilah dilakukan dengan baik-baik. Karena itu, saat tiba membayar, bayarlah dengan ikhlas dan tidak perlu mempersulit pembayaran utang.

“Allah ‘Azza wa jalla akan memasukan ke dalam surga orang yang mudah ketika membeli, menjual, dan melunasi utang”. (HR. An-Nasa’I dan Ibnu Majah)

8. Jangan pernah meremehkan utang meski jumlahnya sedikit

Sedikit atau banyak, utang diberikan oleh pemberinya dengan niat membantu. Jangan meremehkan jumlah pemberian bantuan tersebut

Ruh seorang mukmin itu tergantung kepada utangnya sampai utangnya dibayarkan”. (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah

9. Jangan pernah berbohong kepada pihak yang memberi utang

“Sesungguhnya, ketika seseorang berutang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan ingkar”. (HR Bukhari dan Muslim)

10. Jangan pernah berjanji jika tak mampu memenuhinya

Sebaiknya, membuat janji mengenai rencana pembayaran utangpun dengan mempertimbangkan kemampuan diri sendiri, sehingga tidak menjanjikan yang tidak dapat dipenuhi.

“Dan penuhilah janji karena janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban”. (QS Al-Israa’ ayat 34)

11. Jangan lupa doakan orang yang telah memberikan utang

Nah, adab yang terakhir saat menerima utang adalah dengan mendoakan orang yang telah memberikan utang.

“Barang siapa telah berbuat kebaikan kepadamu, balaslah kebaikannya itu. Jika engkau tidak menemukan apa yang dapat membalas kebaikannya itu, maka berdoalah untuknya sampai engkau menganggap bahwa engkau benar-benar telah membalas kebaikannya”. (HR An-Nasa’I dan Abu Dawud)

Kesimpulan

Demikian hukum utang dalam Islam. Utang piutang diperbolehkan dalam Islam. Malah, karena dapat membantu seseorang keluar dari kesulitan, pemberian utang juga dianjurkan.

Namun, ada adab dalam pemberian dan menerima utang. Islam telah mengatur berbagai aspek agar pemberian utang diberikan dengan niat baik, penagihan dilakukan dengan adab yang baik, serta menerima utang juga dengan adab yang baik.